The Blog

Rabu (25/09), Jare Institute IAIN Kediri membedah buku ‘Agama Jawa’ di Aula Rektorat Lantai Empat IAIN Kediri. Sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut adalah Amanah Nurish, Dosen Universitas Indonesia (UI) sekaligus penulis buku ‘Agama Jawa’, Bernard Adeney Risakotta, Guru Besar Teologi Universitas Kristen Dutawacana, dan Maufur, Dosen Studi Agama-agama (SAA) IAIN Kediri.

Dalam pemaparannya, Amanah Nurish mengatakan, ada beberapa kalangan tidak terima dengan nama Pare diganti dengan Mojokuto karena dinilai membohongi dan menyembunyikan identitas kedaerahan. Pada tahun 1950 an kondisi politik Indonesia tidak stabil. Dari sini etika menyembunyikan nama daerah dalam konteks penelitian itu sah, demi melindungi responden yang ada di daerah terkait. Itulah alasan Clifford Geertz memakai istilah Mojokuto, bukan Pare secara langsung. Akan tetapi, secara sosiolinguistik, nama Mojokuto itu sudah bisa ditebak yaitu Pare. Dari kata ‘mojo’ yang artinya pahit dan ‘kuto’ yang berarti kota, maka arti mojokuto adalah kota yang pahit. Di Kediri tentu kota itu adalah Pare.

Masih menurut Nurish, tidak semua orang (peneliti) yang berada di luar negeri itu faham bahwa Mojokuto itu Pare. Hanya orang Indonesia saja yang memiliki pemahaman tersebut. Orang di luar negeri mengira Mojokuto merupakan sebuah kota yang eksis. Padahal Mojokuto tidak pernah ada. Itu nama fiktif sebagai sebuah wilayah. Saat melakukan perjalanan, Geertz mengalami keterkejutan, dengan Mojokuto atau Pare. Wilayahnya kecil, jauh dari Keraton Jogjakarta dan Solo, tetapi masyarakatnya sudah sangat modern. Di tahun 1950 an masyarakat Mojokuto terhitung modern. Mayoritas penduduknya petani tetapi tidak buta huruf.

“Kalau anda melihat orang-orang abangan, ya, jangan kaget. Ini, genetiknya Orang Jawa, itu justru abangan, sebelum Islamisasi berhasil di tanah Jawa,” kata Nurish di Aula Rektorat IAIN Kediri. Masyarakat Jawa mayoritas adalah abangan. Abangan, menurut Greertz, adalah masyarakat yang tidak melakukan ritual atau ibadah-ibadah syar’i.

Nurish berpendapat, terjadi politisasi terhadap santri dan abangan khususnya pasca pemilu 1955. Masyarakat abangan diklaim tidak bisa berkompromi dengan kaum santri. Secara politik Orang-orang abangan berafiliasi dengan PKI, dan abangan masa itu aktif dalam BTI (Buruh Tani Indonesia). Cita-cita PKI dan BTI menyejahterakan secara sosial, ekonomi, hak-hak individu untuk kesetaraan. Itu adalah label sesat, buruk, dan pandangan bahwa abangan tidak seideal kaum santri “memperuncing” hubungan santri dan abangan.

Selanjutnya, Bernard Adeney Risakotta memberikan komentar tentang buku ‘Agama Jawa’ karya Amanah Nurish. Dia sangat senang dengan penelitian yang dibahas dalam buku tersebut karena memakai berbagai cara dan metode. Akan tetapi Bernard kurang sependapat dengan Nurish terkait dengan Islam yang terkotak-kotak. Bernard beranggapan bahwa Islam yang berbeda-beda menunjukan keberagamaan Islam dan hal tersebut baik adanya. “Penilaian saya adalah bahwa Islam di Indonesia yang paling menarik di dunia, justru karena keanekaragaman,” terang Bernard di depan para audiens bedah buku ‘Agama Jawa’ dan Launching Modjokuto Center.

Maufur, Dosen SAA IAIN Kediri menuturkan bahwa penggunaan istilah Agama Jawa terlalu kolonialis karena dalam istilah tersebut terlalu memandang masyarakat secara dikotomis. “Kalau penggunaan istilah Agama Jawa adalah sebuah konsep yang dapat membuat masalah, contohnya trikotomi priyayi,santri, dan abangan. Kenapa istilah tersebut masih dipakai.” Ujar Maufur.

.

Maufur senang dengan adanya buku karya Amanah Nurish ini karena, selama ini wacana dan diskursus mengenai Islam Jawa didominasi oleh para akademisi barat. Dengan adanya buku ‘Agama Jawa’ ini, kita punya perspektif peneliti dari bangsa kita sendiri. “Ini merupakan sumbangsih yang besar terhadap kajian studi agama di Jawa,” tambah Maufur. Selain bedah buku, Jare Institut juga menggelar Launching ‘Modjokuto Center’, sebuah forum kajian tentang masalah keagamaan.  Menurut Khaerul Umam, salah satu pengurus Jare Institute IAIN Kediri, nama Mojokuto dipilih karena nama tersebut sudah dikenal luas di dunia akademik, baik nasional maupun internasional. Harapannya dengan penamaan Mojokuto ini dapat menjadi sebuah icon di dunia akademik khususnya di IAIN Kediri.(as)