Agama dan politik merupakan dua hal yang penting. Keduanya tidak bisa saling menegasikan. Agama membutuhkan politik (negara) untuk menyebarkan nilai-nilai agama yang sangat mulia. Politik juga harus menyelami nilai-nilai agama sebagai perangkat etis dalam pengaktualisasian politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meninggalkan politik demi agama, hanya akan menjadikan agama mengarah pada eksklusivisme. Pun sebaliknya, politik tanpa agama hanya melahirkan perilaku barbar yang dilegitimasi kebenarannya.
Momentum bulan Oktober, mengingatkan kita pada perjuangan kaum santri dalam mengawal berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan semangat menggelora yang disublimasi dari keyakinan agama, para santri berjuang merelakan darah dan nyawanya untuk sebuah kemuliaan, menjaga tanah airnya dari para penajajah. Perjuangan ini tidak terlepas dari komando seorang ulama yang ke-’alim–annya diakui.
Alim dalam istilah agama Islam merupakan kesatuan utuh yang dimiliki seseorang, karena kedalaman ilmu dan ketinggian akhlak, keduanya berakar pada keimanan yang kuat. KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi komando perjuangan kaum santri untuk memertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, merupakan sosok pemimpin yang alim. Perjuangannya untuk memberi komando para santri lahir dari kekuatan ilmunya dan agamanya.
Sebagai generasi masa kini, penting bagi kita untuk meniru perjuangan yang dilakukan oleh para pendahulu kita. Momentum politik pergantian pemimpin di Indonesia, harus dijadikan ruang bagi kita mengimplementsikan apa yang telah diajarkan oleh para ulama pejuang bangsa, di mana mereka tidak larut dalam euforia kekuasaan, dan menjadi lupa ketika dalam posisi yang diprioritaskan oleh khalayak sebagai calon pemimpin.
Kepemimpinan, sejatinya adalah pemberian dan kepercayaan yang diberikan, bukan hasil polesan ataupun diraih dengan cara-cara yang diluar etika agama. Jika ada calon pemimpin yang secara track record melakukan tindakan mengabaikan nilai-nilai agama, seperti membeli suara, menyuap, maka sesungguhnya ia bukanlah pemimpin yang layak untuk dipilih, apapun dalih yang digunakan untuk membenarkan praktik-praktik kotor tersebut. Pun juga calon pemimpin yang mentolelir tindakan kekerasan demi melegitimasi ambisi politiknya, merupakan tindakan culas karena lebih mengorbankan orang lain demi ambisi pribadinya. Sekali mereka mewajarkan tindakan-tindakan kotor tersebut, mereka sedang menghiasi dirinya dengan gambaran yang jauh dari nilai agama.
Apa yang dicontohkan Hadlaratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, adalah teladan yang perlu kita pegang kuat, bahwa untuk menjadi seorang pejuang bagi bangsa tidak harus berkompromi dengan nilai-nilai yang jauh dari agama, meskipun harus kehilangan popularitasnya di mata penguasa dan berpotensi kehilangan kekuasaan. Agama jangan hanya menjadi spirit, tetapi juga menjadi filter bagi perilaku kotor kita ketika berhadapan dengan popularitas dan kekuasaan.
Sebagai spirit, agama akan menjadi bahan bakar bagi laju perjuangan (baca:dakwah) dalam menyebarkan kebaikan bagi sebanyak mungkin manusia melalui kekuasaan yang diamanahkan rakyat terhadap kita. Namun, perlu diwasapadai, beragama tidak hanya cukup dengan semangat yang menggelora, tapi diawasi oleh nilai-nilai sebagai remnya, semangat beragama hanya akan mereduksi kekuatannya dengan ambisi dan nafsu pribadi yang kadang samar-samar menumpang pada hasrat diri. Apalagi jika hal tersebut dibangun secara kolektif melalui perjuangan partai politik, bisikan dan godaan nafsu yang hanya mementingkan pribadi dan kelompok yang sesaat sering dilegitimasi menjadi kebenaran meski akhirnya nilai-nilai agama yang tergadaikan.
Semoga kearifan yang diteladankan oleh ulama yang melahirkan para santri pejuang bangsa, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi oase di tengah maraknya “praktik koruptif dan intoleran beragama” dari sebagian para politisi bangsa ini.