The Blog

IAIN Kediri Newsroom — Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUDA) IAIN Kediri meluncurkan kegiatan diskusi bulanan dosen pada Selasa (06/02/2024). Acara ini digelar secara perdana di Aula Lantai 3 Gedung FUDA dan dihadiri oleh sekitar tigapuluhan peserta yang terdiri dari dosen dan tendik. Dalam sambutannya, Dekan FUDA, A. Halil Thahir, mengatakan bahwa kegiatan ini adalah salah satu wujud tridharma perguruan tinggi, yaitu pengembangan keilmuan.

“Sebagai civitas akademika di perguruan tinggi, tugas kita salah satunya adalah mengembangkan keilmuan dengan jalan bertukar gagasan antar civitas akademika. Diskusi ini adalah wujud dari kecintaan kita terhadap ilmu pengetahuan. Darinya kita sangat mengharapkan lahirnya ide-ide kritis dan mendalam,” ujarnya.

Lebih lanjut menurutnya, sebagai salah satu institusi keislaman penting di tanah air, FUDA IAIN Kediri harus bisa melahirkan gagasan pembaharuan keislaman yang mampu mengatasi keterbatasan teks-teks keagamaan. Karena teks-teks keagamaan bersifat terbatas (mutanahiyah), sedangkan realitas kehidupan terus berkembang melahirkan tantangan-tantangan baru (ghairu mutahiyah).

Diskusi perdana ini mengangkat tema “Tahafut Hermenutika Al-Qur’an”. Tema yang sejatinya berasal dari judul buku yang ditulis oleh Taufiqurrahman. Taufiq, demikian sapaan akrabnya, didapuk sebagai pembicara pertama. Sedangkan pembicara kedua adalah Fu’ad Faizi. Keduanya merupakan dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri. Dalam paparannya Taufiq menguraikan bahwa hermeneutika yang selama ini dipakai untuk menafsirkan Al-Quran memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, hermeneutika melakukan desakralisasi terhadap teks Al-Qur’an yang bersifat otentik dan suci. Kedua, para intelektual muslim seperti Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zaid mewakili bias kepentingan dunia barat yang ingin menjajah dunia Islam.

Sedangkan Fu’ad Faizi sebagai pembicara kedua menyanggah sebagian besar argumen yang disampaikan Taufiqurrahman. Menurutnya, apa yang dilakukan Taufiqurrahman baik yang ditulis dalam buku maupun yang disampaikan dalam diskusi bersifat subjektif. “Argumen yang disampaikan Pak Taufiq didasarkan pada believe (keyakinan) sebagai muslim, dan tidak didasarkan pada temuan dan prosedur ilmu pengetahuan yang bersifat objektif dan empiris karena itu bersifat kesimpulannya bernada apologetik. Meskipun kita tetap menghargainya sebagai karya intelektual yang serius,” ungkapnya.

Diskusi kemudian berlangsung dalam sesi tanya jawab yang serius, tapi dalam suasana yang hangat dan kekeluargaan. Dalam kesempatan lain, Zuhri Humaidi selaku koordinator program diskusi dosen sekaligus moderator menyebut bahwa perdebatan yang terjadi dalam diskusi merupakan diskursus intelektual yang berharga dan sangat penting artinya dalam membangun kampus sebagai pusat ortodoksi ilmu pengetahuan.

“Selama ini kita tinggal, bekerja, dan berinteraksi di gedung yang sama, tapi hampir-hampir tidak ada percakapan intelektual di antara kita. Yang sering muncul hanyalah gosip-gosip di luar ranah akademik. Memang sebagian di antara kita rutin menerbitkan buku dan sebagian lagi malah berhasil menerbitkan artikelnya di jurnal internasional. Tapi nyaris semua buah pemikiran tersebut hanya menjadi monumen yang tidak tersentuh dan hilang dalam interaksi akademis sehari-hari. Karena itu, harapannya forum diskusi bulanan ini menjadi wadah artikulasi bagi semua hasil pemikiran tersebut dan menjadi kawah cadradimuka bagi munculnya ide-ide baru yang progresif dan anti kemapanan,” sebutnya.

Sumber: Humas Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri
Penulis : Zuhri Humaidi (Kontributor)
Editor: Ropingi el-Ishaq