Oleh: Dr. Wahidul Anam, M.Ag
Rektor IAIN Kediri
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yaitu 12,7 % dari penduduk muslim dunia, sehingga tidak mengherankan kalau minat haji umat Islam di Indonesia sangat tinggi. Tingginya minat untuk menunaikan ibadah haji ini menimbulkan beberapa problem, di antaranya persoalan pengelolaan dana haji. Pada tahun 2019, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) mengeluarkan biaya untuk haji saja sebesar 14,35 Triliun rupiah dengan jumlah kuota 200 ribu lebih jamaah, biaya tersebut bersumber dari setoran jamaah dan nilai manfaat dana kelola dan subsidi pemerintah. Pasca menghadapi Covid-19, pemerintah Arab Saudi telah membuka kembali pelaksanaan ibadah Haji full kuota bagi setiap negara.
Dengan kondisi hampir setiap negara mengalami penurunan ekonomi dampak Covid 19, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, mengusulkan kenaikan yang signifikan untuk Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun 1444 H/2023 M, usulan ini telah disampaikan oleh Menteri Agama dalam sidang Komisi VIII DPR RI. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia “gaduh”. Apalagi kenaikan BPIH dinilai siginifikan yaitu kisaran 69,1 juta rupiah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 39,8 juta rupiah.
Tak ayal berbagai reaksi masyarakat bermunculan dan tidak sedikit yang termakan oleh berita hoaks yang juga beredar di media sosial. Bahkan, tidak sedikit pula yang menyalahkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama sebab kenaikan biaya haji yang dinilai “meroket”.
Penetapan BPIH merupakan agenda rutin yang diselenggarakan oleh Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) berdasarkan SOP mekanisme penetapannya. Hal ini berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Dan Umrah. BPIH ditetapkan oleh Presiden atas rekomendasi Menteri Agama setelah mendapat persetujuan dari DPR RI.
Sebelum draft BPIH disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan Rapat Kerja (RK) di Komisi VIII DPR RI, Kementerian Agama dan berbagai unsur terkait, termasuk Bank Indonesia dan BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) telah melalui serangkaian survei lapangan dan rapat terbatas untuk menyusunnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam berlandaskan pada prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan dan akuntabel.
Secara umum, komponen penetapan BPIH yaitu (1) Komponen Direct Cost (biaya langsung) yang meliputi: a. Biaya Penerbangan Jamaah b. Biaya Operasional Jamaah di Arab Saudi, c. Biaya Operasional Jamaah dalam Negeri. (2) Komponen Indirect Cost (biaya tidak langsung) meliputi: a. Biaya Penerbangan Petugas b. Biaya Operasional Petugas di Arab Saudi, c. Biaya Operasional Petugas dalam Negeri. Setiap komponen tersebut memerlukan biaya akomodasi, konsumsi dan lainnya. Komponen biaya langsung dibayar oleh jamaah haji, sedangkan komponen biaya tidak langsung yaitu biaya yang tidak dibayarkan oleh jamaah tetapi hasil optimalisasi setoran awal BPIH. Disamping itu terdapat dukungan pembiayaan dari APBN dan APBD. Tahap lain yang tidak kalah penting adalah tahap laporan keuangan dan evaluasi.
Dari serangkaian komponen penetapan BPIH diatas, maka kenaikan biaya haji tiap tahun hampir bisa dikatakan wajar, realistis dan pasti. Sebab, biaya akomodasi dalam negeri dan di Arab Saudi juga naik, belanja bahan konsumsi, pajak dan yang terpenting adalah mengurangi beban negara dalam bentuk subsidi pada jamaah haji menjadi 30% sedangkan yang 70% dari jamaah itu sendiri.
Berbagai hal yang perlu diketahui masyarakat adalah bahwa usulan kenaikan BPIH juga terjadi pada berbagai negara selain Indonesia. Adapun beredarnya isu/berita bahwa pemerintahan Arab Saudi menurunkan biaya haji pada tahun ini adalah hal tersebut khusus diberlakukan untuk warga Arab Saudi itu sendiri, bukan untuk warga negara di luar Arab Saudi.
Usulan kenaikan biaya BPIH ini juga untuk menekan dan mengurangi porsi antrian haji yang sudah mencapai 50 tahun bahkan lebih. Melihat masih banyak Lembaga Keuangan baik yang syariah maupun konvensional yang masih menghutangi para calon jamaah haji untuk menyetor dana awal untuk mendapatkan porsi haji. Sehingga kadar “istitha’ah” dalam hal ini kemampuan secara finansial untuk melaksanakan rukun Islam ke-5 tidak terkesan dipaksakan dengan cara berhutang.
Berperannya pemerintah dalam ibadah haji ini bukan bentuk kesewenangan bagi kaum muslimin dalam menjalankan kewajiban agama. Tetapi, pemerintah berkewajiban melindungi, mengakomodir, dan memberikan kemaslahatan secara maksimal bagi warganya yang mau menunaikan ibadah sebagai implementasi perintah agama dan amanah Undang-Undang. Bahkan dalam ranah fiqih, pemerintah pun juga boleh intervensi harga pasar berdasarkan riwayat bahwa suatu hari Umar b. Khatthab mendatangi pasar dan mendapati seorang pedagang anggur Habib b. Abi Balta’ menjual anggur kering di bawah harga pasar. Maka Umar menegurnya, “Naikkan hargamu atau tinggalkan pasar kami.”
Pada akhirnya, langkah berani Kementerian Agama menaikkan biaya BPIH yang menurut sebagian masyarakat melambung tinggi tersebut, sebagai langkah yang berani, sebab “cap buruk” harus siap ditanggung Kementerian Agama sebagai penyelenggara. Akan tetapi, jika kita bersikap bijak dan proposional maka usulan peningkatan harga yang tinggi masih dapat dikondisikan. Melihat bahwa penetapan harga tersebut masih usulan, dan pastinya Kementerian Agama akan mendengarkan berbagai masukan dan saran dari masyarakat untuk lebih baik dan efisien dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji.