The Blog

Oleh: Lukman Hakim & Fatma Puri Sayekti

Terkaget dan terhormat.

Itu dua kata yang paling menggambarkan perasaan kami, dua orang dosen muda yang awam pengalaman, ketika diminta untuk menulis profil tentang Prof. Fauzan Saleh, Ph.D. Orang besar, dengan nama dan reputasi besar.

Gelar Master of Arts (M.A.) dan Gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) diperolehnya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Salah satu kampus terbaik di dunia. Setelah melalui seleksi ketat, ia terpilih menjadi awardee Canada International Development Agency (CIDA). Sebuah beasiswa prestius.

Salah satu karya monumentalnya adalah disertasi yang berjudul “The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia: A Critical Survey of Muslim Reformist Attempt to Sustain Orthodoxy in the Twentieth Century Indonesia.” Berkat dukungan Prof. Howard M. Federspiel serta persetujuan Prof. Eric Ormsby, sebagai promotor dan co-promotor, disertasi itu akhirnya oleh Penerbit dengan reputasi Internasional E.J. Brill Belanda diterbitkan dengan judul Modern Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey.

Sementara versi Indonesia terbit pertama kali dengan judul Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XII. Kini, buku tersebut menjadi salah satu rujukan paling otoritatif yang membahas tentang teologi pembaruan dan wacana-wacana keislaman.

Dengan segala prestasi itu, hampir mustahil mahasiswa, intelektual dan akademisi di Indonesia tidak mengenal nama beliau. Setidaknya bagi mereka yang mengkaji isu dan tema yang sama. Lebih-lebih, warga IAIN Kediri dan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, tempat beliau mengabdi.

Secara formal, kami berdua tidak berada pada rumpun keilmuan yang sama dengan beliau. Bidang yang kami dalami adalah komunikasi dan psikologi, sementara beliau adalah Guru Besar bidang Filsafat Agama. Sehingga saat kesempatan ini datang, jujur hati kami berdebar lebih kencang ketika memasuki pintu ruangan beliau di kampus.

Aroma khas menyeruak di antara ribuan buku yang tertata apik di lima rak besar di sana. Meja kayu jati kokoh beliau berisikan tumpukan kertas kerja, Al-Qur’an, dan… koran! Ya, benar, koran. Rupanya beliau masih rutin membaca koran cetak. Bahkan menunjukkan kepada kami kutipan apik yang beliau temukan pagi harinya. Senyum terus mengembang dari raut Prof. Fauzan. Rambutnya yang memutih dan jalannya yang memelan, menandakan telah separuh bumi beliau lintasi selama berkarier menjadi dosen.

“Sebentar, ya.” Beliau memasang alat bantu dengar yang tadinya tergeletak di mejanya. Kami berdua tersenyum. Satu-dua mahasiswa antre untuk bertemu di belakang kami. Kami tak menyia-nyiakan waktu dan meminta izin beliau untuk menyalakan recorder.

Keresahan Sang Penggembala Cilik

Prof. Fauzan Saleh lahir di Ponorogo, 19 Januari 1953. “Keluarga saya petani,” bukanya. Pekerjaan sehari-hari orangtua adalah ke sawah, mencari rumput, dan menggembala kambing. Sesekali Fauzan cilik juga ikut menggembala di lapangan sekitar rumah. Ketika matahari mulai terik, ia berteduh di antara pepohonan. Saat itulah, ia sering melihat rombongan santri-santri Gontor pulang dengan pakaian terpelajar. Berseragam, rapi.

“Saya berpikir kalau tidak pernah sekolah. Lalu kapan saya bisa seperti mereka. Tidak mungkin selamanya saya menggembala kambing. Tekad saya, harus sekolah.” Tuturnya pelan dengan mata menerawang jauh.

Padahal di desanya pada kala itu, tidak umum seorang anak bersekolah. Atau berkeinginan sekolah. Sekolah adalah hal yang mahal. Bagaimana tidak, jika setiap orangtua abai dengan pendidikan anaknya? Bahkan perangkat desa sampai mendorong para warganya agar mau sekolah.

Meski begitu, takdir mengamini doa yang dilangitkan. Ia benar-benar belajar di Pondok Gontor hingga lulus. Lalu, ditambah mengabdi selama enam tahun, pada saat yang bersamaan juga mengambil pendidikan Sarjana Muda.

Lepas dari Gontor, beliau berkesempatan melanjutkan studi di Jurusan Ushuluddin dan Akidah Filsafat IAIN Surabaya. Setelah lulus S-1, beliau diterima menjadi dosen di IAIN Kediri yang saat itu menjadi kampus cabang dari IAIN Surabaya. Di Kediri lah karier beliau bermula.

Dari Kediri ke Kanada

Keinginan untuk menuntut ilmu terus muncul pada diri Prof. Fauzan. Di sisi lain, ia juga sadar tak punya biaya jika harus sekolah dengan dana sendiri. Namun Allah Maha Baik. Putra salah satu kyai Gontor, KH. Zarkasyi, yaitu Hamid Fahmi Zarkasyi, di suatu siang yang tak disangka, mendatanginya di kos Surabaya. Prof. Hamid muda melontarkan keinginannya untuk kuliah di luar negeri. Tentu untuk bisa ke luar negeri, syarat utama kemampuan Bahasa Inggris harus mumpuni. Beliau menawari Prof. Fauzan untuk ikut les TOEFL selama beberapa bulan di Surabaya. Untung tak dapat ditolak, Prof. Fauzan mendapatkan skor TOEFL di urutan lima tertinggi.

Raihan nilai tertinggi ini sebetulnya tidak tiba-tiba. Selama tiga tahun belakangan, Prof. Fauzan memang sudah kursus Bahasa Inggris di Surabaya. Di sebuah lembaga Indonesia-Amerika. Tiap Selasa dan Jumat, beliau yang saat itu menjadi dosen muda di IAIN Kediri, menumpang bus ke Surabaya. Beliau berprinsip bahwa tidak ada hal baik yang akan terwujud tanpa bekerja keras.
Pada tahun 1990, Prof. Fauzan mengikuti seleksi beasiswa S-2 yang diprakarsai oleh McGill University Kanada, dan Kementerian Agama Republik Indonesia. Mimpinya belum padam. Beliau punya keinginan besar untuk bisa menjejakkan kaki ke luar negeri. Sebuah hal yang separuhnya sudah umum dilakukan para alumni Gontor. Tapi menjadi agak lain karena kampus yang dituju bukan negara Timur Tengah, melainkan negara barat. Juli 1990 akhirnya beliau berangkat ke Kanada, dengan sebelumnya lolos tes dan bimbingan bahasa.

Layaknya mahasiswa pada umumnya, pengerjaan tesis adalah hal yang menantang. Kelulusan yang harusnya terjadi pada akhir tahun kedua, menjadi molor satu semester karena tesis yang belum tuntas. Padahal Prof. Fauzan diproyeksikan akan langsung menempuh S-3 begitu pendidikan masternya selesai. Apa boleh buat, kembali ke Indonesia adalah pilihan yang paling bijak.
Sekembalinya dari Kanada, ternyata tekanan sosial cukup berat. Kolega di IAIN Surabaya kerap bertanya, “Kamu belum selesai sekolah kok sudah pulang ke Indonesia?” Prof. Fauzan terus terang merasa malu. Karenanya, ia terdorong untuk kembali mencari beasiswa S-3. Dalam rentang waktu 1992 – 1995, ternyata sulit sekali untuk tembus beasiswa. Jangankan ke luar negeri. Di dalam negeri sendiripun juga sulit mendapatkannya. Sedangkan untuk menggunakan biaya mandiri, jelas kondisi tidak memungkinkan.

Hingga tahun 1995 ada rekrutmen beasiswa kembali untuk ke Kanada. Syaratnya ternyata lebih sulit. Calon penerima beasiswa harus menguasai salah satu bahasa Eropa yang non bahasa Inggris. Juga wajib mumpuni bahasa negara Islam yang non bahasa Arab, seperti Indonesia, Turki, dan Urdu. Beruntung, bahasa Indonesia termasuk dalam bahasa Islam non Arab, sehingga mudah saja melalui tesnya. Sedangkan untuk bahasa Eropa, beliau memilih bahasa Perancis. Mana lah mudah bahasa Perancis? Jadi beliau kembali harus pulang-pergi ke Surabaya seminggu dua kali untuk kursus. Akhirnya, tahun 1995 inilah beliau berhasil berangkat kembali ke McGill University Kanada.

Pelahap Buku Ulung

Membaca adalah hal yang tidak bisa lepas dari kebiasaan Prof. Fauzan sejak kecil. Baginya, membaca membuka pikiran. Minat bacanya tumbuh sejak sekolah di Gontor. Ketika hari Jumat, pondok libur. Waktu itu digunakan para santri untuk mencuci baju, olahraga, atau pergi rekreasi. Namun tidak dengan Prof. Fauzan belia. Daripada bepergian, ia lebih senang menghabiskan waktu di perpustakaan pondok. Ketika perpustakaan pelajar dibuka bebas, ia adalah orang yang akan pertama datang untuk membaca di perpustakaan. Ia senang meminjam buku dari sana dan membacanya di manapun berada.

Tak disangka, ternyata Prof. Fauzan muda menggemari buku Ilmu Jiwa, yang saat ini disebut sebagai Psikologi. Beliau juga senang buku sastra, hingga kerap membuat puisi dan mengoleksi tulisan-tulisan kesusasteraan. Minimnya uang tak membuat beliau berhenti membaca. Beliau “memanfaatkan” temannya yang kaya dan suka membeli buku. Ia meminjam buku-buku itu secara gratis. Baginya, membaca tentang hal-hal di luar pelajaran membuatnya sangat tercerahkan. Hal-hal yang dulunya tidak diketahui, menjadi tahu hanya lewat lembar-lembar buku.

Seiring berjalannya usia, bacaan beliau makin beragam. Selain tentu saja buku-buku pemikiran Islam, filsafat, dan agama, beliau ternyata penggemar Pramoedya Ananta Toer. Sebut saja Rumah Kaca, Arus Balik, dan Bumi Manusia. Koleksi novel tebalnya bahkan masih bertengger di rak buku beliau di kampus. Mendalami pemikiran penulis lewat karakter tokoh dan alur yang diceritakan, membuatnya kembali ke masa lalu. Sebuah cerita yang kita tak perlu tahu apakah fiksi atau nyata, tapi tetap enak dinikmati.

Kebiasaan membaca ini terbawa hingga beliau ke McGill University. Jika tidak sedang kuliah atau melakukan aktivitas lain, lokasi utama yang dituju pastilah perpustakaan kampus. “Perpustakaannya besar. Koleksinya sangat banyak. Ada meja khusus mahasiswa yang bisa digunakan secara personal. Tiap mahasiswa boleh meminjam buku apapun dan menatanya di meja kecil tersebut. Jadi jika sedang butuh mengerjakan tugas dengan tema tertentu, saya tidak perlu bolak-balik mencarinya di katalog dan rak raksasa tiap hari. Cukup simpan buku di meja khusus itu sampai jangka waktu tertentu, baru dikembalikan. Dan setiap peredaran buku tercatat di sistem yang rapi. Sehingga selalu bisa dilacak, buku ini ada di meja mana. Keren ya?” beliau tersenyum. Ah, sejenak kami berkhayal memiliki perpustakaan yang didesain personal dan privat seperti itu juga. Hahaha…
Kegemarannya membaca dan mengunjungi perpustakaan bukannya hanya untuk gaya. Ketika ada rekannya yang bertanya mengapa ia rajin belajar, Prof. Fauzan menjawab, “I’m sorry. I’m not as smart as other students. I have to more serious with my study and assignments!” Sebuah pernyataan jujur yang keluar dari diri yang rendah hati. Beliau merasa harus mengejar penguasaan materi agar bisa setara dengan teman-teman lainnya. Sungguh, pada saat beliau mengatakannya, kami seolah terlempar di pusaran waktu lampau. Seorang putra terbaik bangsa yang dikirim sekolah dua kali ke negeri utara dunia, mengatakan bahwa ia masih belum cukup pintar dibandingkan rekannya.

Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai

Pengalaman merasakan pengembangan diri yang signifikan di luar negeri selama tujuh tahun membuat Prof. Fauzan berpikir bahwa jika IAIN Kediri ingin maju dan bertaraf internasional, harus membuka kesempatan seluasnya kepada para dosen untuk bisa belajar dan kuliah di luar negeri. Makin minim kesempatan, makin sulit visi kampus tercapai. Makin kecil peluang IAIN Kediri maju pesat.

Penataan manajerial yang strategis juga menjadi pekerjaan rumah yang tak akan usai. Pion dari perubahan organisasi adalah pemimpinnya. Kombinasi antara integritas keilmuan, akhlak baik, teladan, kedisiplinan, dan implementasi dari aturan-aturan yang ada, menjadi sebuah kualitas kepemimpinan ideal. Beliau bahkan sampai menyitir isi koran yang baru saja dibaca paginya. Repot-repot mencari halaman yang dimaksud, demi membacakan kepada kami sebuah frase yang menohok: “Mengaca pada Cina, dia memperoleh kemajuan signifikan. Sejak 2013, perkembangan negara tergantung pada pemimpin dan perilakunya. Bukan kekuatan ekonomi dan militer!”

Kepakaran dosen juga menjadi perhatian Prof. Fauzan. Di IAIN Kediri, masih ada empat profesor. Sangat kurang. Dosen-dosen Lektor Kepala perlu didorong untuk segera menjadi Guru Besar. Yang Asisten Ahli didorong menjadi Lektor. Dan seterusnya. Namun, tanggung jawab moral seorang penyandang gelar akademik “profesor” juga sangatlah berat. Kepakarannya diuji. Seberapa banyak pandangannya, tulisannya, pemikirannya, dikutip oleh para peneliti lain? Seberapa mampu kehadirannya menjadi rujukan ilmu dan pertanyaan atas masalah-masalah yang dihadapi sekitarnya? Seberapa mungkin ia menjadi solusi atas persoalan lingkungannya?

Status jurnal akademik yang dimiliki tiap prodi juga perlu ditingkatkan statusnya. Jangan sampai dosen IAIN Kediri hanya menjadi konsumen dari jurnal-jurnal kampus lain. Perlu pengelolaan yang serius dan profesional mengenai hal ini. Karena jika performa akademik kampus meningkat, maka posisi IAIN Kediri juga akan diperhitungkan oleh pihak luar.

Terakhir, yang menjadi kegelisahan Prof. Fauzan adalah masih minimnya forum diskusi internasional yang diadakan IAIN Kediri. Kuliah tamu harusnya bisa sederhana. Tinggal undang para jejaring di luar negeri, diskusi dimoderatori oleh pimpinan fakultas atau program studi, lanjut paparan materi, tanya jawab, selesai. Tidak perlu berlebihan dalam menyiapkan seremoni, anggaran, dan laporan pertanggungjawaban yang berbelit. Karena toh para tamu juga merasa senang bisa berbagi di kampus luar negaranya. Hal ini diilhami pula dari kebiasaan kampus beliau dulu di McGill University yang kerap sekali mengadakan diskusi terbuka dengan para tokoh terkenal dunia secara mudah dan murah sebagaimana mengadakan diskusi dengan tamu-tamu lokal. Harapannya, mahasiswa dan dosen memiliki cara pandang terhadap ilmu yang lebih terbuka.

Meski begitu, ia tetap menaruh optimisme. Saat ini, IAIN Kediri sudah berbenah. Para dosen hampir setiap tahun ada yang mendapatkan beasiswa untuk belajar di luar negeri. Selain itu, kerjasama luar negeri untuk mengembangkan Tridarma Perguruan Tinggi juga terus digalakkan. Diskusi-diskusi pakar silih berganti. Semua itu menjadi kabar baik di tengah proses transformasi lembaga IAIN menjadi UIN.

Melintasi Keterbatasan

“Penderitaan, sebagai salah satu bentuk manifestasi problem kejahatan, telah dialami oleh umat manusia sejak pertama kali mereka mendiami planet bumi ini. Hampir tidak ada bayi yang lahir hidup di muka bumi ini tanpa menangis. Itu artinya dia menyadari betapa berat beban derita yang akan dia tanggung dalam kehidupan yang akan datang. Namun dia akan segera berhenti menangis, diam dan merasa tenang, setelah merasakan dekapan kasih sayang dan asupan air susu ibu yang mengalirkan kehidupan di dalam tubuhnya. Ia mungkin lupa tentang beban derita yang semula telah ia sadari. Betapa lemahnya manusia ketika ia begitu mudah lupa, terlena oleh kenikmatan yang sesaat.”

Kutipan yang reflektif sekaligus menarik dari naskah akademik berjudul “Jika Tuhan Maha Baik, Dari Manakah Datangnya Kejahatan” yang ditulis Prof Fauzan untuk Orasi Pengukuhan jenjang tertinggi karir akademiknya: Guru Besar. 16 tahun lalu.
Ada dua pesan penting yang kami tangkap dalam kalimat tersebut. Pertama, setiap manusia bahkan sejak detik pertama ia dilahirkan memiliki beban dan penderitaan yang tidak mudah. Dalam banyak bentuk, kesusahan senantiasa mewarnai setiap jengkal kehidupan manusia. Persoalan, bukan hanya milik miskin papa atau tuna karya, tapi juga selalu menghampiri pada mereka yang merasa berada.

Kedua, meski penderitaan datang silih berganti selalu ada penawar sejati. Dialah Ibu. Oleh banyak pujangga, sering disebut sebaik-baiknya pintu surga. Ibu yang tak pernah lelah membersamai, mengobati setiap luka anak-anaknya. Meski anak tak akan mampu membalas kebaikan para orang tuanya. Bahkan seringkali di realitas banyak mendapatkan persetujuan atas kalimat “Satu orang tua pasti bisa merawat dan membesarkan sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa mengasihi satu orang tua.”

Prof Fauzan adalah satu di antara sedikit orang yang berhasil mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan. Sebagai seorang anak yang dilahirkan dari keluarga petani dengan berbagai keterbatasan. Namun berkat ketekunan, dedikasi dan kecintaannya pada ilmu, semua hal yang hanya sebatas angan-angan bisa menjadi kenyataan.

Ia memahami dengan baik segala kesusahan dengan problematika yang ada bukan untuk di ratapi, menyerah atau membiarkan keputusasaan menguasai diri. Keyakinan bahwa melalui pendidikan segala keterbatasan bisa terlampaui membawanya pada banyak hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebagaimana janji Tuhan, selalu ada kemudahan bagi mereka yang mencintai ilmu.

Meski demikian, berulangkali ia mengatakan semua pencapaian saat ini bukan semata-mata karena ikhtiarnya semata tapi karena kesabaran dan gelombang doa tiada terputus dari sang Ibu. Tanpa itu, ia tidak akan pernah menjadi pegawai negeri, sekolah keluar negeri apalagi meniti karier akademik hingga menjadi guru besar. Begitupula peran istri, anak-anaknya, guru-guru dan kolega yang selalu lengkap ia sebut dalam perjalanan kehidupannya.

Integrasi Pengalaman Sepanjang Hayat

Bulan-bulan terakhir masa pengabdian Prof. Fauzan di kampus tercinta ini, beliau mengaku merasa bersyukur dan senang telah diberi kesempatan mengabdi. Banyak hal yang membuat beliau puas, tetapi ada juga yang belum memuaskan. Dalam hal menulis, beliau merasa masih kurang berprestasi. Padahal tulisan beliau telah tersebar di berbagai media dan jurnal ilmiah. Perasaan ini tidak muncul begitu saja. Sebab kenangnya, dulu beliau menjadi doktor yang single fighter. Paska lulus S-3 tahun 2000, tujuh tahun kemudian (2007) baru ada doktor baru. Sehingga dalam kurun waktu tujuh tahun ini, beliau mengajar ke sana ke mari sendirian dan minim kolega dengan tingkat pendidikan yang sama. Kini doktor makin menjamur, sehingga harusnya nuansa akademik kampus lebih produktif.

Beliau berencana tetap akan melakukan pengabdian kepada masyarakat terkait perannya di beberapa organisasi. Prof. Fauzan memiliki kegiatan sosial, kelompok mengaji, dan jamaah yang harus dibina. Sehingga beliau tidak khawatir dengan masa pensiunnya. Beliau sudah merasa cukup dan “selesai” dengan dirinya sendiri. Beliau ingin mengabdikan diri seluasnya pada masyarakat yang membutuhkan perannya. Menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama.

Prof. Fauzan mungkin sudah purna, tapi keteladanannya tak akan pernah hilang. Cerminan dan jejak emasnya akan selalu terkenang, melekat di sanubari. Semangatnya untuk maju, berkembang, dan tumbuh bersama menjadi warisan tak ternilai.
Tentunya tulisan ini tak cukup mewakili kiprah beliau sejak di IAIN Kediri, McGill University, dan masyarakat luas. Ini hanya sepenggal kisah yang semoga bisa menjembatani rasa yang terbangun antara generasi ke generasi. Sebuah upaya mencatatkan pada sejarah, bahwa di IAIN Kediri pernah ada seorang profesor yang amat dihormati, kharismatik, bersahaja, berwawasan luas dan berjejaring internasional.

Ia telah memulai, kini saatnya kita meneruskan.

*Tulisan ini disajikan pada acara Seminar Nasional “Resiliensi Ilmu-Ilmu Keislaman” Dalam Rangka Purna Bhakti Prof Fauzan Saleh yang diselenggarakan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri. Selasa, 29 November 2022.