IAIN Kediri Newsroom – Pro dan kontra penetapan aturan usia minimal perkawinan terjadi karena pandangan normatif agama dan aspek sosiologis. Perbedaan pemahaman tentang usia perkawinan muncul karena perbedaan metode pemahaman terhadap Al-Qur’an dan sunnah nabi. Sementara aspek sosiologis aturan usia perkawinan ditolak karena pernikahan anak kerap terjadi di Indonesia.
“Menurut mereka (yang menolak) dalam fiqih, tidak ada aturan minimal usia perkawinan,” terang Khoiruddin Nasution salah satu Profesor dari UIN Sunan Kalijaga di aula lantai empat IAIN Kediri, dalam acara Kuliah Tamu Pembatasan Usia Perkawinan, Senin (02/03/2020).
Peraturan pertama yang mengatur umur perkawinan adalah UU No 1 Tahun 1974. Dalam aturan tersebut, usia perkawinan diizinkan jika pria telah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Aturan terbaru Putusan MK RI. No. 22/PUU-XV/2017 tentang Pembatasan Usia Perkawinan, usia perkawinan diizinkan apabila pria dan wanita telah berumur 19 tahun.
“Tujuan hukum, adalah tercapainya maqashid. Hukum itu bukan tujuan, hukum itu adalah alat untuk mencapai tujuan. Karena itu alat itu boleh berubah-ubah untuk bisa mencapai tujuan,” ujar Khoiruddin Nasution.
Khoiruddin Nasution menyampaikan tujuan dari pernikahan adalah terbentuk dan tercapainya keluarga sakinah. Untuk itu, salah satu caranya adalah calonnya harus memiliki kematangan dalam berfikir dan melakukan tindakan.
Ketua Prodi Hukum Keluarga Islam Abdullah Taufik menyampaikan Putusan MK (Makamah Konstitusi) No. 22/PUU-XV/2017 didasarkan kepada UU Perlindungan Anak.
“Kalau dulu dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 bahwa pembatasan perkawinan antara laki-laki dan perempuan berbeda. Kalau laki-laki 19 tahun, perempuan 16 tahun. Jadi dengan adanya Undang-undang perlindungan anak, kalau usia 16 (tahun) itukan masih anak”, ucap Abdullah Taufik yang ditemui di sela-sela acara yang diadakan oleh Program Studi Hukum Keluarga Islam IAIN Kediri.
Abdullah Taufik mengungkapkan acara ini ingin mengkritisi dampak sosiologis dari Putusan MK tentang Pembatasan Usia Perkawinan. Karena, menurutnya, sebagian wilayah di Indonesia terdapat pemahaman usia pernikahan yang penting telah memasuki usia baligh. “Dan ini harus diakomodir dalam Undang-undang positif kita. Kalau engga nanti akan timbul pernikahan siri akhirnya, karena tidak sesuai dengan tuntutan Undang-undang,” tambah Abdullah Taufik. (red. humas/as)