The Blog

oleh Wahidul Anam (Rektor IAIN Kediri)

Pada akhir Mei 2024, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan keputusan tegas mengenai pengucapan salam lintas agama. Menurut hasil Ijtima Ulama, umat Islam diharamkan mengucapkan salam dari agama lain yang mengandung doa. Fatwa ini menegaskan bahwa salam dalam Islam adalah ibadah dan doa yang tidak boleh dicampuradukkan dengan agama lain. Namun, pandangan ini bukanlah satu-satunya. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menawarkan perspektif berbeda, memperbolehkan salam lintas agama dengan rujukan yang mendalam.

PWNU Jawa Timur menawarkan pandangan yang lebih moderat dan inklusif. Berdasarkan hasil bahtsul masail, PWNU Jatim memperbolehkan salam lintas agama, dengan rujukan pada kitab-kitab klasik seperti Bariqotu Muhmudiyyah dan Ashbakh Wannadhoir. Dalam kitab-kitab ini, terdapat pendapat yang memperbolehkan mengucapkan salam kepada non-muslim ketika ada kemaslahatan atau kepentingan yang mendesak. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki fleksibilitas dalam konteks tertentu, terutama dalam menjaga harmoni dan kerukunan.

Penggunaan salam lintas agama dapat dibenarkan demi kemaslahatan umat dan menjaga kedamaian. Dalam tradisi Islam, nabi-nabi terdahulu, termasuk Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad, pernah mengucapkan salam kepada non-muslim dalam konteks tertentu. Pandangan ini menunjukkan bahwa salam sebagai wujud pesan kedamaian dan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) harus dipertimbangkan dalam konteks kemaslahatan dan kebersamaan.

Di tengah polemik ini, penting untuk melihat bahwa kedua pandangan tersebut lahir dari niat yang baik: menjaga kemurnian ibadah dalam Islam dan sekaligus mempromosikan kedamaian serta kerukunan antar umat beragama. Namun, mengharamkan secara absolut pengucapan salam lintas agama mungkin dapat mempersempit ruang dialog dan toleransi yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang beragam. Terlebih lagi, dalam khazanah Islam sendiri, beragam pandangan dalam melihat konteks salam lintas agama, mulai dari yang mengharamkan, membolehkan bahkan dalam kadar tertentu, demi kemaslahatan, dianjurkan.

Toleransi bukan hanya tentang menghormati keyakinan orang lain, tetapi juga tentang menemukan cara-cara praktis untuk hidup bersama dalam damai. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, salam lintas agama dapat menjadi jembatan untuk meningkatkan pemahaman dan menghormati perbedaan. Dengan demikian, penting untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas dan mempertimbangkan berbagai pandangan ulama, seperti yang ditawarkan oleh PWNU Jatim.

Pada akhirnya, moderasi dalam beragama adalah kunci untuk mencapai kedamaian. Menggunakan salam lintas agama tidak harus dilihat sebagai pelanggaran, tetapi sebagai bentuk adaptasi dan penerapan nilai-nilai Islam dalam konteks yang lebih luas dan beragam. Fatwa harusnya tidak hanya memerhatikan aspek teologis, tetapi juga mempertimbangkan realitas sosial dan kebutuhan untuk hidup berdampingan secara damai.

Pandangan PWNU Jatim memberikan harapan bahwa ada ruang untuk interpretasi yang lebih inklusif dalam Islam. Semoga dengan ini, umat Islam dapat terus menebarkan kedamaian dan kasih sayang kepada semua, tanpa kehilangan jati diri dan keimanan mereka.

Kementerian Agama juga menilai salam lintas agama sebagai praktik baik dalam merawat kerukunan umat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kamaruddin Amin, salam lintas agama bukanlah upaya mencampuradukkan ajaran agama, melainkan wujud sikap saling menghormati dan toleran. Salam lintas agama menjadi sarana menebar damai yang juga merupakan ajaran setiap agama. Ini sekaligus menjadi wahana bertegur sapa dan menjalin keakraban. Sebagai sesama warga bangsa, salam lintas agama adalah bentuk komitmen untuk hidup rukun bersama, tidak sampai pada masalah keyakinan. Di negara yang sangat beragam dan multikultural, artikulasi keberagamaan harus merefleksikan kelenturan sosial yang saling menghormati dengan tetap menjaga akidah masing-masing.

Dalam praktiknya, salam lintas agama secara empiris terbukti produktif dan berkontribusi meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama. Ikhtiar merawat kerukunan penting terus diupayakan dengan menguatkan kohesi dan toleransi umat, bukan mengedepankan tindakan yang mengarah pada segregasi. Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mengalami peningkatan signifikan dalam tiga tahun terakhir, menunjukkan bahwa praktik baik warga telah meningkatkan kualitas kerukunan.

Pandangan Kamaruddin juga didukung oleh hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari Muslim dan non-Muslim. Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-Muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud, mengatakan, “Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan.” Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, Muslim atau non-Muslim, selalu berucap salam. Ia menegaskan, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian.

Imbauan MUI mungkin relevan bagi yang merasa imannya akan terganggu bila ia mengucap salam lintas agama. Namun, jangan larang atau ragukan iman orang yang berucap salam lintas agama. Dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara beragama dan bernegara bisa saling sinergi.

Pandangan PWNU Jatim dan Kementerian Agama memberikan harapan bahwa ada ruang untuk interpretasi yang lebih inklusif dalam Islam. Semoga dengan ini, umat Islam dapat terus menebarkan kedamaian dan kasih sayang kepada semua, tanpa kehilangan jati diri dan keimanan mereka.