IAIN Kediri – Film besutan Dwijo U Maksum dengan judul “Air Mata di Ladang Tebu” dilaunching Jumat 8 November 2019 di Aula Rektorat IAIN Kediri.
Dwijo U Maksum mengatakan, film ini dibuat berdasarkan peristiwa kepulangan tahanan politik di Pulau Buru. “Tidak ada satupun solusi secara hukum, dalam konteks negara, perihal peristiwa itu (tahanan Pulau Buru),” ucap Dwijo di Aula Rektorat IAIN Kediri.
Menurut Dwijo U Maksum, film ini mecoba untuk merekonstruksi kembali bagaimana seharusnya menyikapi dan melakukan rekonsiliasi terhadap tahanan politik. Seperti mereka yang pernah dibuang di Pulau Buru. “Ada rekomendasi dari Komnas HAM tentang rekonsiliasi. Tapi kita tidak pernah mengerti bagaimana rekonsiliasi itu harus dijalankan,” tambah Dwijo U Maksum.
Wakil Rektor III IAIN Kediri, Wahidul Anam dalam sambutannya memberikan motivasi bagi mahasiswa untuk terus produktif dalam membuat karya film khususnya mahasiswa KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam). Mahasiswa KPI diharapkan mampu menjadi motor pengerak yang memiliki peran signifikan dalam perfilman di era revolusi industri saat ini. “Saya kira, di kita (IAIN Kediri), fasilitas sudah sangat lengkap, dosen ada, fasilitas ada, bahkan kita punya studio tv,” kata Wahidul Anam di Aula Rektorat IAIN Kediri.
Wakil Rektor III IAIN Kediri berharap dalam era perkembangan teknologi yang pesat ini mahasiswa IAIN Kediri mampu membuat film yang memiliki makna. “Bisa (film) menjadi media kritik atau media promosi,” tandasnya.
Film Air Mata di Ladang Tebu merupakan film fiksi berlatar belakang sejarah dengan tokoh utama Kirman. Launching film ini dibarengi dengan bedah film oleh Ketua Kalam Kampus (KAKA) Media IAIN Kediri Ropingi, dan Jurnalis Indosiar, Danu Sukendro, dengan dimoderatori dosen Sosiologi Agama (SA) IAIN Kediri, Khaerul Umam.
Di hadapan audience Danu, memaparkan tentang sisi unik film ini. Penonton diajak untuk menyimak secara utuh narasinya. Karena ada beberapa “tikungan” yang dibuat oleh sutradara sehingga membuat penonton salah tebak terhadap alur ceritanya. Meskipun ada narasi yang terkesan terputus film ini cukup menarik. Bahkan dapat dibilang “wah”.
Ropingi menambahkan, bahwa film ini terasa natural. Ekspresi dan aspek penjiwaan para pemeran lumayan bagus. Meskipun mereka bukan pekerja seni akting. Sehingga film yang ditayangkan mampu membetot emosi penonton. Begitu paparnya di tengah hadirin yang antusias menyimak komentar para pembedah film. Ropingi juga menambahkan bahwa film ini terasa unik. “Kediri banget”, katanya di hadapan para mahasiswa, karyawan, dan dosen yang menghadiri louncing film tersebut.
Acarapun diakhiri dengan simpulan moderator, Khaerul Umam, bahwa film-film berlatar kearifan lokal penting dibuat dan diluncurkan untuk membangun kedewasaan dan rekonsiliasi di tengah masyarakat. (as)