The Blog

Oleh: Dr. Wahidul Anam, M.Ag.
Rektor IAIN Kediri

Haji merupakan rukun Islam yang ke lima dalam akidah umat Islam. Indonesia sebagai negara berpenduduk dengan mayoritas beragama Islam, animo masyarakat untuk menunaikan haji begitu besar, selain bertujuan akhirat dengan mengamalkan hadis, “Haji Mabrur, tidak ada pahala baginya kecuali surga.” HR. Bukhari 1773 dan “Ikutkanlah (sertakanlah) haji dan umrah, sesungguhnya keduanya dapat menghapus dosa (termasuk dosa besar) dan kefakiran.” HR. Tirmizi 810 dan Ibn Majah 2887. Program haji tidak hanya berhaji di kota Mekkah, tapi juga mengadakan perjalanan ke kota Nabi, Madinah al-Munawwarah. Berkunjung ke kota Nabi mempunyai nilai spiritual tersendiri bagi umat Islam, yaitu menziarahi peristirahatan terakhir Nabi Muhamad SAW yang mempunyai keistimewaan tersendiri berdasarkan hadis, “Barangsiapa menziarahiku (berkunjung kepadaku) setelah kematianku, maka seperti mengunjungiku ketika aku hidup.” Dan “Barangsiapa menziarahi kuburanku maka wajib baginya syafaatku (di hari kiamat).” HR. Al-Baihaqi 193-194. 

Tidak hanya mengejar akhirat, bagi sebagian masyarakat muslim Indonesia, setelah haji secara otomatis akan tersematkan “gelar kehormatan” dalam kehidupan sosial masyarakat di berbagai daerah. Sehingga secara tidak langsung dapat mengangkat “nama dan derajat” bagi dirinya atau keluarganya di mata masyarakat sehingga lebih dihormati, disegani dan dipandang dapat mengamalkan perintah agama secara paripurna. Seakan-akan sempurnalah hidupnya, antara dunia dan akhirat, antara materi dan spiritual. Lainnya adalah kemudahan dalam perjalanan serta fasilitas yang disediakan selama perjalanan dan prosesi haji oleh pemerintah Arab Saudi.  

Selain bertujuan diatas, pada sudut pandang lain dalam ibadah haji terdapat nilai ekonomi yang sangat besar. Sebab haji tidak hanya membutuhkan fisik yang kuat tapi juga biaya yang tidak sedikit. Maka, untuk memfasilitasi masyarakat Indonesia menunaikan ibadah haji, Bank Syariah mengeluarkan produk Dana Talangan Haji dengan sistem multi akad yaitu akad Qard (hutang) dan Ijarah (sewa) yang didasari fatwa No.29/DSNMUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah dan dikuatkan dengan PMA No. 30 Tahun 2013 Pasal 1 ayat 4 tentang Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. Besaran nominal yang harus disetorkan untuk memperoleh antrian haji adalah Rp. 25.000.000. 

Seiring berjalannya waktu kebijakan tentang Dana Talangan Haji atau istilah lain “dana hutang” untuk mendapat porsi antrian haji memunculkan masalah baru, salah satunya adalah panjangnya antrian untuk berangkat haji, sedangkan kuota haji per tahun untuk pemerintah Indonesia hanya 231.000 haji reguler dan 17.000 untuk haji khusus. Bahkan di tahun 2022 ini, antrian di beberapa daerah sampai 50 tahun lebih alias separuh umur seseorang seperti Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jambi, Provinsi Jawa Tengah dan lainnya (lihat https://haji.kemenag.go.id/v4/waiting-list.). 

Sebelum lonjakan waiting list (antrian porsi haji) ini muncul, Kemenag selaku institusi pemerintah yang berwenang untuk menyelenggarakan ibadah haji telah merevisi dan melarang adanya dana talangan haji dengan PMA No. 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas PMA No. 30 Tahun 2013 Tentang Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. Selain itu, banyak pro dan kontra tentang halal dan haramnya dana talangan haji. Kelompok yang kontra beralasan bahwa ujrah (fee) dari akad Ijarah (sewa) dalam dana talangan haji termasuk bunga, yang hukumnya sama dengan riba. Hanya istilahnya saja diperhalus yaitu ujrah (fee) sebagai alibi untuk membolehkannya. Alasan lainnya adalah bank walaupun berembel-embel syariah, tidak mungkin tiba-tiba dengan “baik hati” meminjamkan uang tanpa kompensasi apapun, sebab bank bukan lembaga sosial tapi perusahaan yang harus dapat untung. 

Bagi seseorang yang tidak mempunyai kemampuan harta dan fisik, hukum asalnya tidak wajib melaksanakan haji. Tapi jika tetap melaksanakan haji dengan berhutang maka hajinya sah, dengan ketentuan adanya perasangka kuat mampu melunasi hutangnya, tidak berbasis riba dan hal-hal lain yang dilarang syariat. Hal ini telah difatwakan oleh Syeikh DR. Yusuf Qardawi (www.al-qaradawi.net), Dar al-Ifta’ al-Misriyah (www.youm7.com), tim ahli fatwa (www.islamweb.net) dan lainnya. 

Pada kenyataanya, waiting list haji juga berasal dari masifnya para orang tua untuk segera mendaftarkan anaknya atau keluarganya setelah mereka sah mendapatkan KTP, yaitu umur 17 tahun. Para orang tua rela mengeluarkan per anak Rp. 25.000.000 hanya untuk dapat antrian porsi haji agar anak-anaknya tidak memikirkan biaya dan antrian lagi untuk berangkat haji. 

Bukan perkara ringan untuk menyelesaikan lamanya waiting list haji di Indonesia. Upaya Kementerian Agama RI untuk menyiapkan formulasi khusus agar waiting list haji tidak semakin lama harus kita dukung. Kemungkinan, salah satu upayanya adalah dengan memperketat persyaratan pendaftaran haji dan upaya Gus Menteri untuk meningkatkan penambahan kuota haji sebanyak-banyaknya, juga harus kita apresiasi. Wallahu a’lam bi shawab